Wednesday, May 27, 2015

"Rumput" Singapura Tidak Selalu Lebih Hijau dari "Rumput" Indonesia

Banyak yang selalu bilang, bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri. Buat gue, itu pemikiran yang engga begitu baik. Kita harus memikir lebih dalam lagi akan kalimat pernyataan itu. Mungkin memang lebih hijau, tapi apakah kita sanggup seperti si tetangga dengan usahanya yang menghijaukan rumputnya? Siapa tau, si tetangga mendapat cacian makian hinaan yang kalau kita ketahui, mungkin kita tak sanggup menghadapinya seperti si tetangga. Daripada berpikir sempit seperti itu, mengapa kita tidak menghijaukan rumput sendiri? Engga usah lihat orang lain yang lebih hijau, jadikan lah itu sebagai motivasi agar kita terus dan terus menghijaukan rumput kita. Hijaunya rumput bagi beberapa orang pasti akan berbeda juga toh.
Singapore
Masih mengenai rumput tetangga, siapa yang suka banget sama Singapura? Singapura yang aturannya ketat, orang-orangnya taat peraturan, dan segala hal yang berbeda jauh dengan kehidupan kita Indonesia. Gue pun selalu membandingkan, betapa menyenangkannya hidup di sana, dimana-mana teratur, macet juga ga begitu-begitu amat, transportasi umum juga cakep canggih, ah segalanya deh bila dibandingkan dengan Indonesia. Namun jangan salah, dengan kita selalu melihat "rumput" Singapura yang lebih hijau dari "rumput" Indonesia, ga menutup kemungkinan bahwa orang Singapura juga melihat "rumput" Indonesia lebih hijau dari mereka, kan?
Mereka punya MRT
Jadi gini, gue punya temen asli Singapura. Engga perlu disebut namanya. Kami kenalan dari CouchSurfing, pada awalnya dia duluan kirim pesan ke gue karena ingin diantar jalan-jalan dan sekalian nambah temen di Bandung. Setelah bertukar nomor, sms-an, janjian, maka akhirnya ketemu lah kita.
Pikiran gue tentang orang Singapura adalah mereka merupakan pribadi yang ontime karena melihat kehidupan Singapura yang super tepat waktu. Pada saat janjian, gue datang lebih awal dari waktu janjian.
Ternyata pas gue telepon bahwa gue udah sampai, dia menyuruh gue masuk dulu, dia nginep di rumah anak couchsurfer juga, padahal kan bisa langsung berangkat. Baiklah gue masuk. Lalu... Jeng Jeng Jeng!! Apakah yang terjadi? Dia belum mandi. Ekspetasi gue akan orang Singapura ontime langsung sirna. Hahahaha.
Berlanjutlah kami ke PVJ, gue bilang ke dia kalau PVJ adalah salah satu mal terbesar di Bandung. Lalu dia berkata, "What? This is the biggest mall here? Are you kidding me? You know Singapore has a lot of bigger mall than this. ION Orchard for example, they have 8 floor."
Oke, gue salah memberitahu hal seperti itu ke orang Singapura, karena memang gue akui mall mereka bejibun dan luasnya kebangetan. Dia pun bosen dibawa ke mall, dia bilang ingin melihat-lihat distro. "Aku ingin ke distro, apa lah itu factory outlet? Unkl?". Yep, dia tahu Unkl, jadi boleh dong kita berbangga bahwa produk lokal dikenal di sana?
Dibawalah ke sana, kami berjalan kaki dari ujung ke ujung. Dia kaget tapi senang bahwa kita boleh menyeberang di mana saja tanpa harus lewat zebra cross.
"Aku senang banget di sini, kita bisa nyebrang dimana saja. Di Singapura, mana boleh? Aku didenda nanti.", ujarnya sambil tertawa.
Lelah berkeliling sana-sini tanpa dia beli apa-apa, pikiran gue tentang orang Singapura adalah mereka di sana punya banyak uang, entah pikiran itu datang darimana, hahahaha. Kami pun nongkrong di rumah anak couchsurfer lainnya. Dia bercerita di Bandung dia kemana saja dan segala ceritanya selama di Bandung. Gue akan menyimpulkannya pembicaraannya tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan makna ceritanya saat itu.
"Aku senang sekali di Bandung. Udaranya sejuk. Di negaraku, dimana aku harus mencari udara sejuk? Aku juga senang bisa naik motor matic di sini, di negaraku mana bisa, motor pun jarang sekali karena pajaknya mahal. Aku naik motor ngebut saja di sini, bisa liat sana-sini, lebih enak. Aku ke Kawah Putih, itu keren banget, tidak ada seperti itu di negaraku. Naik kendaraan umum yang kalian bilang angkot pun, kalau berhenti kita harus bilang 'kiri' dan ngebut. Itu aneh. Aku juga bisa merokok dimana saja, itu yang paling aku suka dari Indonesia. Orangnya pun 'gila' semua kayak kalian."
Begitu lah katanya, Indonesia dengan aturan yang tidak seketat Singapura dibilang menyenangkan olehnya.
Oh iya, dia pun sempat melihat warung kaki lima, dia bertanya, "Kalian bisa makan di situ?". Tentu saja gue jawab bisa. Mau tahu responnya apa? "Aku tidak bisa makan di situ, kotor sekali keliatannya, kalian tidak merasa jijik kah?". Mengingat percakapan ini, gue teringat perkataan Mbak Trinity, bahwa kita mesti bersyukur jadi orang Indonesia, kita bisa makan di mana saja karena kita terbiasa makan pake tangan, makan di warteg, di luar sana mungkin akan ada yang lebih jorok dari kita dan pastinya kita akan terbiasa karena kita orang Indonesia (kurang lebih pernyataan Mbak Trinity seperti ini). Kekurangan bagi orang, merupakan kelebihan bagi kita.
Gue sempet berkunjung ke Singapura dan bertemu dengannya lagi. Dia memang kayak bukan orang Singapura karena perangainya yang santai jarang ontime meski di negaranya sendiri, hahaha. Dia juga sempat menyombongkan identitasnya yang menerangkan bahwa dia adalah 'keturunan' Java, dan dia pengen banget jadi orang Indonesia.
Dia membawa gue ke pantai di Sentosa, dia bilang bahwa kita harus bangga sama Indonesia, karena Indonesia punya banyak pantai alami, kalau Singapura mesti bikin pantai.
Hutan Tembok Singapura
Jadi, intinya, kita jangan selalu melihat yang lain dengan segala kelebihannya tanpa melihat kekurangannya, Memang benar juga adanya bahwa kadang kita harus pergi dulu ke negara orang lain maka kita akan mencintai negara kita sendiri. Ya, segala sesuatu pasti selalu ada kelebihan dan kekurangan. Melakukan perjalanan, akan membawa kita ke pribadi yang lebih 'terbuka' (hopefully).
Semoga dengan tulisan ini, kita tidak selalu melihat rumput tetangga lebih hijau, karena hijau belum tentu bahagia, siapa tahu pencitraan.


*Apabila ada kesalahan informasi dan perkataan, mohon maklumi, karena ini adalah cerita pendek perjalanan dari gue*

No comments:

Post a Comment